Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

Meski bukan hal baru sudah dikenal di Indonesia, pembangunan berkelanjutan secara global baru dibahas dalam konferensi lingkungan hidup di Stockholm 1972. Pada saat itu issue pembangunan berkelanjutan timbul akibat terjadinya overdevelopment yang di negara-negara maju yang berakibat pada tingginya angka pencemaran lingkungan. Sementara di negara berkembang, kemiskinan telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Karena itu masyarakat dunia menilai masalah lingkungan ini harus segera ditanggulangi, yaitu dengan meningkatkan pembangunan berwawasan lingkungan, atau eco-development.

Isu pembangunan tesebut kemudian ditanggapi PBB pada tahun 1983 dengan membentuk World Commision on Environment and Development (WECD). Pada tahun 1987 WCED membuat laporan tentang hari depan kita bersama (Our Common Future) dengan tema Pembangunan Berkelanjutan.

Pada tahun 1992, PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup dan pembangunan. (Un Conference on Environmental and Development -UNCED) di Rio de Janeiro Brasil. Kegiatan ini menghasilkan Konferensi Rio. Salah satu hasilnya adalah Agenda 21, sebuah program aksi pembangunan berkelanjutan. Namun sayang program ini tidak banyak ditindaklanjuti.

Untuk memperbarui komitmen pelaksanaan Agenda 21, pada tahun 2002, diadakan Konferensi Puncak se-Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan. (Word Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg dan menghasilkan Konferensi Rio+10. Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan adanya evolusi dari isu lingkungan global di Stokholm 1972, lingkungan hidup dan pembangunan di Rio tahun 1992, dan pembangunan berkelanjutan tahun 2002 di Johannesburg.

Makna Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka (WCED, 1987). Untuk mencapai tujuan tersebut, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Pertama, peningkatan potensi produksi dengan pengelolaan yang ramah lingkungan. Kedua, menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang.

Dengan dua syarat tersebut, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang harus berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil. Dalam Deklarasi Johannesburg, pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi yang harus berwawasan lingkungan dan sekaligus mengusahakan pemerataan yang adil. Deklarasi tersebut juga menyatakan, pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga pilar: ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.

Walau pun merupakan syarat penting dalam pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup tida menganut aliran ekologi dalam (deep ecology), yang menempatkan lingkungan hidup dan komponennya mempunyai hak eksistensi terlepas dari kepentingan manusia. Sementara lingkungan hidup adalah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Karena pembangunan berkelanjutan bertumpu pada tiga pilar, maka pembangunan yang dilakukan harus bersifat holistik agar terjadi sinergi. Karena itu koordinasi menjadi hal yang penting.

Dengan berkembangnya demokrasi, kemungkinan terjadinya pembangunan yang lebih seimbang antara ketiga pilar tersebut diperbesar. Pembangunan pro-rakyat belum tentu bersifat pembangunan berkelanjutan jika tidak memperhatikan pilar lingkungan hidup dan sosial budaya.

Urgensi Pembangunan Berkelanjutan

Lebih dari 40 tahun Indonesia telah menempatkan pembangunan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun laju pertumbuhan ekonomi itu harus ditebus dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang hebat.

Sumberdaya alam atau lingkungan hidup mempunyai peran penting dalam menunjang pembangunan nasional. Sumberdaya Alam masih merupakan modal utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Masalahnya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, dilakukan eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berlebihan tanpa menggunakan kaidah konservasi. Akibatnya harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada beberapa sektor strategis, seperti kehutanan, pertanian, perikanan, dan pertambangan.

Sementara itu laju pertumbuhan angkatan kerja di Jawa Barat mencapai 1,7 persen, dan melampaui laju kesempatan kerja yang menunjukkan angka 1,3 persen per tahun. Akhirnya banyak kita jumpai masyarakat yang harus mengamen atau menjual sesuatu di pinggir jalan. Meski pun sesungguhnya keberadaan mereka menimbulkan resiko terkena dampak polusi udara.

Di sektor pendidikan, krisis ekonomi mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan UN, 60 persen guru-guru SD di Indonesia tidak layak untuk mengajar. Ini berkaitan dengan kualitas pendidikan. Sementara itu, pelayanan masih belum merata, berkualitas dan terjangkau. Di sektor kesehatan pun, terancam terjadinya emerging dan re-emerging diseas. Virus HIV dan dampak pencemaran lingkungan mengancam kesehatan masyarakat.

Di sektor lingkungan sosial, hampir 25 persen wilayah Jawa Barat adalah pemukiman kumuh. Sedangkan berdasarkan data dari UN, masyarakat yang mempunyai luas lantai kurang dari 50 meter persegi per rumah tangga, hampir mencapai 44,2 persen. Jadi sebenarnya banyak masyarakat Jabar yang miskin.

Banyaknya persoalan lingkungan, baik biofisik maupun sosial ekonomi, menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan tahun 1987 masih menjadi mimpi. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Salah satunya karena adanya eksploitasi besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan menurunnya sumberdaya alam. Padahal penurunan sumberdaya alam akan berkorelasi dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Selama ini pemerintah sering melakukan eco-simplification, menyederhanakan kompleksitas lingkungan. Ketika bicara hutan, yang terpikir adalah berapa meter kubik kayu yang bisa dihasilkan, dan berapa devisa yang dihasilkan. Sementara fungsi-fungsi hutan untuk kepentingan lingkungan terlupakan.

Pembangunan berkelanjutan hanya slogan kosong. Jangankan di level bawah, di level pengambilan keputusan pun sebenarnya tidak memahaminya. Itu terlihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah tingkat Nasional yang menempatkan pembangunan berkelanjutan di bagian tujuh.

Pemahamannya, pembangunan berkelanjutan itu hanya tugas kementerian lingkungan hidup. Hal sama terjadi juga dalam RKPD Jabar. Pembangunan berkelanjutan hanya disimpan pada misi ke-empat. Ini menunjukkan bahwa mindset pemerintah tentang pembangunan berkelanjutan harus diubah.

Hal lain yang menyebabkan semua itu adalah tidak adanya pemerintahan yang accountable, representatif, dan demokratis, serta lemahnya penegakan hukum dan good governance. Bahkan tidak ada satu partai politik pun yang tertarik dengan issue pembangunan berkelanjutan. Memburuknya kualitas lingkungan dan sumberdaya alam adalah akibat dari kekurangpahaman legislatif tentang pembangunan berkelanjutan.

Di sisi lain, masih terdapat keterbatasan kapasitas sumber daya manusia, dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Di sinilah pendidikan mempunyai peran. Pendidikan harus bisa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sehingga bisa memahami pembangunan berkelanjutan.

Dalam menyusun program pembangunan, pemerintah seringkali tidak mendengar kelompok-kelompok utama. Pemerintah, khususnya di daerah, lebih sering mendengar suara-suara dari level yang lebih atas. Sementara kelompok utama seringkali tidak didengar, meskipun lebih berpengalaman dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Sehingga ketika kelompok utama ini masuk, dianggap sebagai pengganggu.

Dalam penyusunan RPJM misalnya. Penyusunan RPJM memang melibatkan pakar dan LSM. Namun ternyata konsepnya sudah dibuat. Ketika para peserta memberikan masukan, hal itu hanya bisa diakomodasi. Kemudian keputusan pun diambil, dan seolah-olah sudah dilegitimasi karena sudah didiskusikan.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah masalah yang kompleks. Permasalahan ini berakar dari paradigma yang bersifat parsial-fragmentatif dan anthropocentris. Karena itu perlu pergeseran tekanan paradigma pembangunan dari cartesian worldview-partial/fragmentative ke ecological worldview-holistic/integrative. Perubahan paradigma ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, namun kerusakan sumberdaya alam bisa dikurangi.

Pendekatan pembangunan yang terintegrasi ini sangat jarang dilakukan. Apalagi di era otonomi. Contohnya dalam pemanfaatan Sungai Citarum. Tidak ada hubungan antara satu lembaga dengan yang lainnya. Kabupaten Bandung hanya berpikir bagaimana bisa menghasilkan PAD, soal dampak lingkungan tidak dipikirkan. Sementara Kota Bandung hanya bisa menyalahkan Kabupaten Bandung, tanpa memberikan insentif kepada Kabupaten Bandung. Padahal masyarakat Kabupaten Bandung kebanyakan miskin.

Dengan adanya otonomi daerah, kerjasama antardaerah tidak ada. Apalagi wewenang gubernur untuk mengkoordinasi kegiatan ini juga dikurangi. Inilah yang kemudian mengakibatkan permasalahan menjadi bertambah.

Karena itu semua pihak harus proaktif dalam menjabarkan berbagai konsep pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dengan menggunakan teknologi tepat guna, ramah lingkungan, sesuai kebutuhan pemangku kepentingan dan berbasis sosial budaya masyarakat. Hal yang terpenting adalah bagaimana memberi contoh dan terlibat langsung di lapangan.

Perubahan paradigma dari cartesian worldview ke ecological worldview tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan terganggu secara signifikan. Implementasi konsep efisiensi yang merupakan perpaduan yang efektif antara ekonomi, sosial dan ekologi, maka dalam penggunaan sumberdaya sangat diperlukan. Ini berarti prinsipnya adalah mengurangi jumlah bahan yang terbuang.

Sebenarnya hal ini tidak mengubah konsep yang berkembang di masyarakat. Prinsip eco-efisiensi yang didengungkan negara maju sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarkat. Lihat saja sistem daur ulang yang terjadi di pekarangan.

Masyarakat Sunda terbiasa buang air di atas pacilingan. Sampah dari pencernaan dibuang ke kolam untuk makanan ikan. Begitu juga dengan sisa-sisa makanan dibuang ke kolam untuk makanan ikan.

Sampah-sampah itu dimakan ikan, dan kelak ikan itu dikonsumsi manusia. Sementara itu sampah-sampah yang tidak termakan akan mengendap di dasar kolam, dan bisa dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman. Dengan demikian, resources yang digunakan sangat efisien. Namun menurut para pejabat ini tidak hygiene dan berbahaya, karena itu dibuat proyek jambanisasi. Akhirnya karena proyek ini tidak sesuai dengan nilai sosial-budaya masyarakat, disiramnya hanya kalau pejabat datang.

Bagaimana mungkin orang yang miskin, kurang perawatan, harus membeli pelet ikan. Untuk makan saja susah, apalagi membeli pelet ikat. Mestinya sistem yang berakar dari nilai sosial-masyarakat seperti ini terus dikembangkan.

Namun masyarakat modern terlalu arogan, dan tidak mau belajar dari ilmu kampung. Dianggapnya kalau sudah belajar ilmu kampus, lebih hebat dari mereka yang belajar dari ilmu kampung. Padahal sebenarnya ilmu kampus juga harus dipelajari. Kombinasi ilmu kampus dan ilmu kampung akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Sedangkan untuk tercapainya pergeseran paradigma diperlukan realisasi dari good governance. Terselenggaranya good governance diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, berkeadilan, efisiensi, efektifitas, dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan proses pembangunan.

Perlunya Indikator Keberhasilan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Kelemahan utama pembangunan berkelanjutan di Indonesia ialah tidak adanya tolok ukur. Pengalaman menunjukkan bahwa hanya yang terukurlah yang dapat diimplementasikan dalam pembangunan dan yang tidak terukur diabaikan. Karena itu pembangunan berkelanjutan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya retorika belaka.

Agar pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana harus ada tolok ukurnya. Dengan tolok ukur itu, perkembangan pembangunan berkelanjutan dapat dipantau dan dievaluasi secara periodik. Tolok ukur tersebut harus mencerminkan isu penting sehingga dapat merespon isu-isu penting dan aspirasinya tersebut. Tolak ukur itu melipui pro-environment, pro-poor, pro-women dan pro-livelihood opportunities (job-led).

Jadi kalau nanti pejabat, misalnya pejabat Walikota Bandung, ternyata tidak bisa memenuhi tolok ukur tadi, maka tidak perlu dipilih lagi. Kalau misalnya pro-lingkungan, lihat berapa kali banjir yang terjadi, bagaimana pula dengan tingkat pencemaran lingkungan. Kalau polusi makin turun, maka berarti pejabat itu bagus. Begitu juga jika semakin banyak masyarakat miskin yang terentaskan, semakin banyak lapangan kerja, dan semakin banyak kesempataan yang diperoleh perempuan untuk kesetaraan gender.

Semua itu ada indeksnya. Misalnya human development index (HDI) yang digunakan sebagai tolak ukur pro-poor. HDI Jabar masih berkisar 67,9. Angka itu masih di bawah Yogyakarta. Sedangkan HDI Indonesia hanya setingkat dari Vietnam, dan tertinggal dari Malaysia dan Singapura meski memperoleh kemerdekaan lebih dahulu. Indonesia berada pada ranking 112, sedangkan Vietnam 113.


Prof. Dr. Oekan S. Abdoellah
Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Unpad)

*) Disarikan dari

Workshop Penjajakan dan Pengembangan Kurikulum ESD
Sentra Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat (SPPM)
Bagikan
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)"
 
Copyright © 2015 KOPIAH EMAS - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top